Jumat, 29 Maret 2013

Wacana Sekolah Gratis Dihapus,, Ini komen Merndikbud


KOMPAS.com — Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengaku belum mengetahui apa benar Pemprov DKI akan menghapus sekolah gratis di Jakarta. Namun, dia mengingatkan, biaya pendidikan memang harus ditanggung negara.
"Apa benar mau jadi dihapus apa enggak, kita kan belum tau pasti juga. Tapi yang pasti, saya ingatkan lagi kalau biaya pendidikan sesuai dengan amanah undang-undang harus ditanggung oleh negara," kata Nuh saat dijumpai seusai mengunjungi Akademi Kebidanan di Kudus, Jumat (29/3/2013).
Dalam hal ini, pembiayaan ditanggung negara dimaksudkan adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Meski pemerintah pusat telah memberikan pendanaan cukup besar untuk kelangsungan pendidikan di daerah, pemerintah daerah tetap harus berkontribusi.
"Kami ingin berpesan bahwa menarik atau melakukan perubahan untuk membebankan pembiayaan pendidikan pada masyarakat itu harus dikaji matang," ujar Nuh.
"Harus cermat, hati-hati, dan tidak tergesa-gesa karena seluruh pendidikan dasar harus ditanggung pemerintah. Untuk pendidikan menengah, tahun ini kan ada Pendidikan Menengah Universal (PMU) yang dananya juga daerah," tandasnya.
Sebelumnya, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sempat menyatakan bahwa seluruh siswa di Jakarta, baik yang ada di sekolah swasta maupun negeri, diharuskan membayar sekolah. Langkah ini dilakukan dengan pertimbangan agar DKI dapat bertindak lebih adil.
Namun, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menegaskan bahwa bukan sekolah gratis yang dihilangkan. Menurutnya, hanya sistem BOP yang diperbaiki.

Senin, 18 Maret 2013

Sangiran, Java Man barren Earth (oase)




Suyono (35) membuat kerajinan di Dusun Sangiran, Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, dengan bahan baku batu yang oleh warga setempat disebut batu batik, Rabu (13/3). Hasil kerajinan tersebut kemudian disetor kepada pedagang untuk dijual sebagai suvenir di Museum Manusia Purba Sangiran.
Suyono (35) memahat batu di depan sebuah rumah sederhana di Dusun Sangiran. Ia mengolah batu menjadi patung manusia purba, Homo erectus. Di dusun yang tandus itu, usaha kerajinan dari batu alam menjadi gantungan hidup warga. Sayangnya, kemiskinan warga berbanding terbalik dengan ketenaran Sangiran sebagai salah satu pusat evolusi manusia di dunia. Sri Rejeki
Tak banyak memang pilihan bagi Suyono yang hanya tamatan sekolah dasar. Begitu pula warga sedusunnya yang sama-sama tak punya tanah pertanian. Masyarakat Sangiran kini berjuang merajut hidup di tengah tanah yang tandus.
Ini bagaikan ”reinkarnasi” fenomena berjuta tahun silam ketika manusia-manusia pertama penghuni Sangiran, Homo erectus, berjuang hidup di alam yang sedang berubah.
Di balik megahnya Museum Manusia Purba yang berlapiskan pualam, hidup masyarakat sekitar rata-rata masih dibelit kemiskinan. Mereka menghuni rumah-rumah berdinding anyaman bilah bambu. Kemiskinan membuat warga tidak mampu menyekolahkan anaknya, rata-rata hanya tamat sekolah menengah pertama. Materi tanah Sangiran berupa endapan lempung hitam dan pasir fluviovulkanik menyebabkan sifat tanah tidak subur dan tandus di musim kemarau.
Sangiran kini adalah kawasan tandus yang mencakup 22 desa di empat kecamatan yang berada di dua kabupaten, Sragen dan Karanganyar, Jawa Tengah.
Lahan padi yang hampir sebagian besar tadah hujan hanya mampu satu atau dua kali panen setahun. Di sisa musim, lahan ditanami palawija, seperti singkong, atau dibiarkan menganggur.
Dari hasil membuat kerajinan batu alam, Suyono yang belum berkeluarga ini memperoleh penghasilan Rp 50.000 per hari. Uang itu hanya cukup untuk makan dirinya, ibu, dan seorang keponakannya.
Nasib tidak jauh berbeda dialami perajin lainnya, Giyoto (44). Dalam sebulan, ia biasanya memperoleh pesanan 100 patung manusia purba setinggi 14 sentimeter (cm) yang dihargai Rp 7.500 per buah, serta Rp 10.000 per buah untuk patung setinggi 17 cm. Giyoto menghidupi istri dan dua anaknya. ”Hanya cukup untuk makan dan sekolah anak,” katanya.
Begitu pula warga yang menjadi petani, seperti Sumojuwito (65). Dari panen terakhir, ia hanya memperoleh 3 kuintal gabah basah dari lahan 2.000 meter persegi miliknya. Serangan wereng membuat produksi padinya merosot hampir separuh. Beras yang diperoleh digunakan untuk makan keluarga hingga panen berikutnya.
Saat masih muda, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ia bekerja sebagai buruh bangunan. Kini, pada masa tua, kehidupan hariannya ditopang enam anaknya yang juga hidup pas-pasan. Beruntung, ia sempat menyekolahkan mereka hingga sekolah menengah atas.
”Tetapi, sekarang saya bingung, tidak punya uang untuk pengobatan istri yang kena darah tinggi dan stroke. Kalau ada uang, ya, saya bawa berobat. Kalau tidak, terpaksa tidak diapa-apakan,” kata Sumojuwito.
Dengan kondisi tersebut, sementara di hadapan warga terhampar ”harta karun” atau ”barang tambang” berupa fosil, tidak jarang membuat warga tergiur perdagangan fosil yang ilegal menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Salah satunya adalah Subur yang sempat mendekam di penjara selama 6 bulan karena menjual fosil. Subur kini lebih memilih usaha batik. Fosil temuan yang ”mampir” di tangannya ia serahkan kepada museum. Terlebih anak sulungnya, lulusan arkeologi universitas ternama, kini sudah bekerja di museum.
”Kami sudah tinggal di Sangiran sebelum temuan fosil-fosil. Kalau memang kami tidak boleh berbuat apa-apa di atas lahan sendiri, seharusnya lahan itu secara bertahap dibebaskan pemerintah,” kata Subur.
Keinginan warga menggarap kerajinan batu alam tersebut terkendala karena bahan baku harus diperoleh dengan cara menggali.
Padahal, aktivitas penggalian dilarang karena dikhawatirkan akan merusak situs. Warga lainnya, Darmadi, mengungkapkan, masyarakat sebenarnya tidak ngotot untuk hanya mengeksplorasi fosil atau batu alam. Bidang ekonomi kreatif sebenarnya sangat potensial, termasuk pengembangan desa wisata. Sayangnya, belum ada komitmen untuk mengangkat masyarakat dari kemiskinan.
Pusat perhatian dunia
Selama lebih dari 75 tahun, Sangiran menarik perhatian dunia. Di situs manusia purba yang terhampar di areal seluas 56 kilometer persegi itu ditemukan 120 individu fosil Homo erectus. Jumlah ini lebih dari separuh populasi Homo erectus yang ditemukan di dunia.
Sangiran memulai kisahnya 2,4 juta tahun lalu saat kawasan ini masih berupa lautan yang dihuni, antara lain, ikan hiu dan moluska (hewan bertubuh lunak, seperti kerang dan tridakna atau siput raksasa).
Jejak Sangiran sebagai lautan tertinggal di areal ladang jagung di Dusun Pablengan, Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Berlokasi di belakang rumah Sutiman, tanah seluas 1 meter persegi yang disebut sumber air asin itu tampak kebiruan.
Dari wilayah seluas 8 x 7 kilometer ini tersingkap fosil-fosil Homo erectus, hierarki paling penting dalam sejarah kehidupan manusia sebelum sampai pada tahapan manusia modern, Homo sapiens. Fosil Homo erectus juga ditemukan di Afrika, Eropa, dan Asia barat.
Pamor Sangiran yang berkilau di dunia penelitian ilmiah tidak linear dengan kehidupan warga setempat.

Rabu, 13 Maret 2013

SDA Indonesia dikuasi asing


JAKARTA, KOMPAS.com — Ketergantungan Indonesia yang cukup tinggi terhadap negara lain dalam sektor perekonomian serta penguasaan sebagian sumber daya alam di Indonesia oleh asing dianggap sebagai bentuk penjajahan baru. Hal ini membutuhkan perubahan pola pikir pemerintah dan masyarakat agar Indonesia bisa menjadi negara yang mandiri sesuai cita-cita para pendiri bangsa.  
Kita tidak bisa menyalahkan bangsa asing atas kondisi yang sedang kita alami saat ini sebab kita sendiri yang setuju untuk terlibat dalam perdagangan bebas serta menyerahkan aset-aset kita untuk dikelola pihak asing.
-- Benny Susetyo
Demikian benang merah dari diskusi tokoh lintas agama mengenai Dampak Liberalisasi Perdagangan dan Pembangunan yang diselenggarakan Satuan Aliansi Rakyat Anti (SARA) APEC dan WTO di Jakarta, Senin (11/3/2013).  
Dari catatan SARA yang disampaikan Edy Burmansyah, para pemimpin negara-negara anggota Kerja Sama Ekonomi Asia Pasific (APEC) dalam pertemuannya yang berlangsung di Vladivostok, Rusia, 7-9 September 2012, sepakat untuk mengedepankan lembaga-lembaga multilateral, seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagai instrumen penting dalam mengatasi krisis yang berlangsung.  
Selain itu, pertemuan KTT APEC yang akan diselengarakan pada 8-11 Oktober 2013 juga Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 WTO pada 3-6 Desember 2013, di Bali yang mengagendakan pembicaraan seputar perluasan liberalisi perdagangan sebagai strategi alternatif dari krisis yang tengah berlangsung. Kedua hal tersebut menyebabkan terbukanya liberalisasi perdagangan dan pembangunan di Indonesia.  
Menurut Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia Romo Benny Susetyo, paradigma pemimpin bangsa saat ini tidak memerdekakan diri sendiri dan umatnya.  
"Kita tidak bisa menyalahkan bangsa asing atas kondisi yang sedang kita alami saat ini sebab kita sendiri yang setuju untuk terlibat dalam perdagangan bebas serta menyerahkan aset-aset kita untuk dikelola pihak asing," kata Benny.  
Benny menambahkan, langkah yang harus dilakukan untuk memperbaiki paradigma tersebut adalah revolusi di bidang pendidikan meski membutuhkan waktu yang lama.  
Sementara itu, peneliti dari Nurcholish Madjid Society, Okky Tirto, mengatakan, bangsa ini belum menemukan jati diri. "Ini keadaan yang tidak biasa, tetapi sudah luar biasa sehingga dilakukan revolusi kebudayaan diri melalui perubahan pola pikir untuk menemukan jati diri bangsa," kata Okky.  
Okky menambahkan, salah satu faktor yang menyebabkan produk Indonesia kalah bersaing dengan produk luar adalah teknologi. "Pemerintah harus menyiapkan juga sumber daya manusia seperti yang dilakukan  Presiden Soekarno dengan mengirim para pelajar ke luar negeri," ujar Okky.  
Pembicara lainnya dalam dialog tersebut adalah Sekretaris Umum Persekutuan Gereja Indonesia Pdt Gomar Gultom dan Direktur Kajian Institut Nagarjuna Eddy Setiawan. 
Editor :
Robert Adhi Ksp

Minggu, 10 Maret 2013

KOTEKA papua yang hampir punah


Koteka Suku Yali Papua Terancam Punah
Kompas.com
JAYAPURA,KOMPAS.com - Koteka khas kaum pria suku Yali  di Kabupaten Yalimo, Papua terancam punah, seiring makin banyaknya anggota suku yang menggunakan pakaian modern. Sementara, koteka ternyata tak hanya pakaian, tapi juga fungsi lain.

"Pakaian tradisional suku Yali mulai ditinggalkan dan hanya generasi tua yang menggunakan," kata 
staf peneliti Balai Arkeologi Jayapura, Hari Suroto, Minggu (10/3/2013). Sedangkan generasi muda suku itu, ujar dia, lebih suka menggunakan pakaian modern berbahan kain.
Pakaian tradisional suku Yali, tutur Hari, adalah paduan antara koteka dan lingkaran rotan yang dililitkan ke badan. Bahan koteka, sebut dia, adalah buah labu panjang yang dikosongkan isinya kemudian dikeringkan dengan dijemur di atas perapian.
Setelah kering, labu tersebut dipasang di atas kemaluan lelaki suku Yali, dan diikat dengan tali rotan halus yang dililitkan di bagian pinggang hingga perut.
Arti dan fungsi lilitan rotan

Setelah kering, lanjut Hari, dipasang di atas kemaluan (testis) pria dan diikat dengan tali rotan halus yang dililitkan di bagian pinggang hingga perut. Dia menjelaskan lingkaran rotan di perut dan badan, juga menunjukkan tingkat keberanian seorang pria dari suku itu.

"Semakin banyak lingkaran yang dimilikinya, berarti semakin tinggi pula tingkat keberanian dan status yang dimilikinya itu," kata Hari. Karena, rota hanya tumbuh di luar daerah Yali. Orang Yali biasa menyebut rotan hanya tumbuh di daerah musuh, dan untuk memperolehnya harus menempuh risiko.
Lingkaran rotan dan koteka, juga bukan cuma pakaian dan perhiasan. Ada kegunaan lain dari pakaian tradisional ini, yaitu untuk membuat api. "Rata-rata pria Yali membuat api dengan menggunakan sebuah tali rotan sebagai korek api," tutur Hari.
Untuk membuat api, seorang suku Yali akan mengambil sepotong rotan dari pakaian mereka, kira-kira sepanjang 60 sentimeter. Rotan itu lalu dililitkan ke sepotong kayu yang diletakkan di atas tanah, dikelilingi dengan rumput dan dahan kering.
Lalu, lelaki itu akan berdiri, dengan masing-masing kaki menginjak ujung kayu. Dengan tangan, mereka kaan menarik tali rotan yang dililitkan tadi dengan cepat naik turun digesekkan ke kayu, sampai keluar asap, api mulai menyala, dan ujung tali putus terbakar. "Setelah itu, mereka menutupi kayu tersebut dengan rumput dan meniup sampai terjadi kobaran api yang besar," katanya.

Tak terdokumentasi
Hari mengatakan saat ini pakaian tradisional suku Yali belum terdokumentasi dengan baik. Museum di Papua maupun di Jakarta belum memiliki koleksi pakaian ini.
Menurut Hari, perlu penelitian mendalam serta pendokumentasian lengkap dan baik, dalam beragam metoda pendokumentasian, sebelum pakaian ini benar-benar punah. Penggunaan pakaian tradisional ini dalam festival budaya maupun pada hari besar nasional, tambah dia, juga dapat menjadi cara untuk melestarikan pakaian tersebut. (KR-ARG/Aditia Maruli
)