Jumat, 17 Mei 2013

kaum Tarekat


Hakikat hidup manusia tak lain untuk mencari kebahagiaan di dunia yang bisa dibawa ketika kelak menghadapi kematian. Banyak jalan yang mereka tempuh dalam menempuh kehidupan agar bahagia. Sehingga terkadang mereka tidak menyadari bahwa cara yang ditempuh merugikan dirinya sendiri dan bahkan orang lain. Selain itu pula banyak di antara mereka yang buta terhadap jalan kebahagiaan itu sendiri. Namun ada pula yang melihat, tetapi mereka tidak peduli sehingga kegalauan hidup sering menemani hari-harinya.
Tarekat petani ini akan mengajak pembaca untuk mengarungi eksistensi kebahagiaan yang disajikan oleh dunia tarekat. Tarekat pada intinya ajaran yang mengajarkan untuk hidup bahagia di dunia dan kelak lebih-lebih di akhirat. Intinya sama dengan ritual ajaran keagamaan lainnya. Namun ada perbedaan yang mendasar dalam pelaksanaan pengamalan menuju hidup bahagia versi tarekat ini. Yaitu tindakan untuk melakukan wirid atau dzikir secara terstruktur dan sistematis (Hal. 119).
Intinya tarekat lebih mengedapankan melakukan ritual dzikir dan wiridan guna memantapkan hati kepada yang maha perkasa dan Pemberi berkah yaitu Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dunia tarekat bagi pemeluknya yang mengamalkan memberikan kebahagiaan tersendiri. Yang mana mereka selalu melakukan wiridan dan dzikir-dzikir yang sifatnya untuk memantapkan hati mengingat Tuhan. Dengan cara demikian mereka menemukan kedamaian jiwa dan ketenangan hati meski berada dalam garis kehidupan yang minim ekonomi.
Dalam pengamalan tarekat ini sifatnya tidak mengekang pemeluknya. Setiap pemeluk tarekat ini (Syattariyah) memiliki kewajiban untuk melakukan dizikir dan wiridan. Karena dzikir dan wiridan sudah menjadi suatu kewajiban, maka tidak boleh tidak harus dilakukannya. Biasanya dzikir atau wiridan itu dilakukan setelah solat fardu. Dari sinilah ketika penganut tarekat tidak melakukan dzikir atau wiridan setelah solat fardu mereka masih boleh menyicilnya dalam kesempatan lain (Hal. 120).
Hidup bahagia tidak harus dengan harta yang melimpah. Terkadang seseorang salah persepsi bahwa dengan harta hidup manusia akan bahagia. Padahal ketika harta menumpuk pikiran malah tambah ruwet dan tak karuan. Dari sinilah kesadaran untuk hidup melalu dunia tarekat dilakukan oleh penduduk desa Kuanyar kecamatan Mayong Jepara Jawa Tengah. Di tengah himpitan ekonominya mereka masih merasakan hidup bahagia meski dengan harta yang apa adanya.
Lazimnya tulisan ini mengajak orang abangan untuk sadar diri agar beragama tidak tanggung-tanggung. Agama mengajarkan pemeluknya untuk melakukan kebaikan. Yang mana kebaikan itu untuk dirinya sendiri dan orang lain menuju bahterah kebahagiaan hidup. Orang abangan tak lain merupakan mereka yang beragama namun mereka tidak melakukan perintah-perintah agama. misalkan orang islam yang tidak melakukan solat, zakat, dan puasa serta tidak menajalankan ibadah lain yang diajarkan agama (Hal. 67).
Di sini baru kita menemukan bahwa agama tidak memberikan efek baik dalam kehidupan manusia yang menganutnya. Yaitu tidak ada realisasi seperti yang dijanjikan oleh ajaran agama untuk hidup bahagia. Realisasi untuk hidup bahagia tidak akan didapt oleh orang abangan yang dirinya hanya mengaku beragama (Islam) namun tidak melakukan syariatnya. Setidaknya gambaran kehidupan penganut tarekat syattariyah dalam penelitian ini akan memberikan paradigma baru bagi penganut agama untuk menemukan kebahagiaan yang hakiki.
Dunia tarekat yang identik dengan ritual dzikir atau wiridan tidak membatasi penganutnya untuk tidak bekerja. Karena di balik amalan-malan tarekat itu mereka masih memiliki kewajiban menghidupi keluarganya. Batasan dzikir atau wiridan tidak mengenal waktu dan tempat meski dalam kesibukan mengurus pertanian dan pedagang boleh dilakukan. Tidak harus formal di atas musolla atau masjid. Selain itu pula sebagai pengamal tarekat jangan hanya melakukan ibadah terus menerus tanpa mempedulikan anak dan istri atau sebaliknya (Hal. 155-158).
Substansinya ajaran tarekat dalam menggapai hidup bahagia yang dilakukan oleh masyarakat Kuanyar ini tidak melupakan hubungan vertikal dengan Tuhan dan hubungan Hirizonal antar sesama manusia atau yang bersifat kemanusiaan dengan latar belakang budaya dan tradisi yang mendarah daging. Dari dua dimensi ini (vertikal-horizontal) maka kebahagiaan yang hakiki dengan mengamalkan ajaran agama (Islam) bisa digapai.
Melalui penelitian secara langsung terhadap para pelaku tarekat ini (tarekat Syattariyah di Kuanyar Mayong, Jepara, Jateng) Nur Syam menemukan hakikat dari ajaran tarekat yang benar-benar memberikan relung kehidupan yang membahagiakan bagi penganutnya yang mengamalkan. Penelitian ini menjadi bukti bahwa kebahagiaan itu benar-benar dirasa oleh mereka yang mengamalkan ajaran agama. Dengan ulasan yang rinci dan padanan pitutur penganut tarekat ini sudah sangat jelas kebahagiaan yang mereka peroleh melalui ritual dzikir atau wiridan yang rutin setelah solat fardu dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang mengandung nilai-nilai dzikir.
* Peresensi adalah Mahasantri Pondok Pesantren Al-in’am Pajagungan Banjar Timur Gapura Sumenep Madura.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar